Rabu, 14 Oktober 2015

Cinta yang Pergi part 1



Gue udah gak duduk semeja lagi bareng Yusuf.
Yusuf pindah ke kelas sebelah gara-gara kelas sebelah kekurangan satu siswa lagi. Sementara siswa di kelas gue berlebih. Sebenarnya bukan cuman Yusuf aja yang dipindahin dari kelas gue ke kelas lain. Ada seorang siswa lain bernama Ardi yang juga harus pindah.
Sekarang gue duduk semeja dengan seorang cowok pendek, kurus, dan berambut tipis bernama Anggi. Dia orang jawa. Nama lengkapnya Anggi Dwi. Memang, namanya seperti nama perempuan. Tapi, gue jamin seratus persen kalo dia itu punya titit.
Saat jam istirahat, gue dan Anggi hanya duduk di dalam kelas. Gue bukannya gak punya uang jajan, Anggi juga. Tapi, kami lebih memilih buat jajan sepulang dari sekolah nanti. Kesempatan ini gue pakai buat ngobrol sama dia.
Pertama-tama, Anggi yang membuka suara terlebih dahulu. “Pri, lo tinggal di mana?”
Gue jawab, “Gue tinggal di Perumnas Sidomulyo, jalan gelatik raya nomer 14.”
Alis Anggi terangkat, dia lalu bilang, “Sama dong, kita.”
Gue kaget. Lebih tepatnya shock. “Ha? Lo juga tinggal di rumah gue?”
“Bukan gitu bego. Gue juga tinggal di Perumnas Sidomulyo, tapi di jalan Parkit. Agak jauh dari rumah lo. Cuman masih bisa dibilang dekat juga sih,”
Gue hanya manggut-manggut.
Setelah itu, gue dan Anggi bersepakat untuk berangkat sekolah naik sepeda bareng keesokan harinya.

***

Keesokan harinya gue jemput Anggi di rumahnya pukul setengah tujuh pagi. Dengan sepeda Wim Cycle warna biru-kuning gue, dan sepeda Wim Cycle warna biru-putih Anggi, kami pun berangkat tepat lima belas menit sebelum pukul tujuh.
Waktu itu, karena Anggi takut kita bakalan telat, akhirnya dia ngajak gue untuk lewat jalan pintas aja. Gue pikir, jalan pintas yang dimaksud Anggi adalah gang-gang sempit khas perumahan. Eh tahunya Anggi ngajak gue buat lewat di daerah tempat pembuangan sampah akhir. Maka di sinilah kami berdua, dua orang anak mengayuh sepeda dengan penuh semangat di antara tumpukan-tumpukan sampah yang baunya minta ampun dahsyatnya. Kami berdua terlihat seperti pemulung kurang gizi yang lagi menyamar jadi anak SMP.
Beruntungnya gue dan Anggi sampai di sekolah tepat sebelum pagar di tutup. Lima menit sebelum bel pelajaran pertama berbunyi. Setelah memakirkan sepeda, kami berdua lalu berjalan menuju kelas. Beberapa saat kemudian, guru pu masuk. Dia berhenti melangkah di depan meja gue dan Anggi, lalu hidungnya yang sedikit mancung itu seolah-olah mendengus sesuatu.
Guru itu bilang, “Kok, kelas kalian bau sampah ya?”
Gue dan Anggi menatap guru itu sesaat. Lalu kami berdua saling pandang sambil ter-senyum miris.

***

Saat itu sedang pelajaran Bahasa Indonesia. Guru memberikan kami tugas mengarang pagi itu. Gue celingak-celinguk. Melihat ke kanan-kiri. Seluruh temen gue udah pada mulai mengerjakan tugas karangan yang di suruh. Tinggal gue yang belum ngerjain. Gue lalu me-noleh, memandang si Anggi yang lagi… gambar.
Tiba-tiba mata gue berhenti saat memandangi papan tulis. Dalam sepersekian detik, gue lalu teringat dengan kejadian ketika gue diketawain sama satu kelas saat memperkenal-kan diri, tiga bulan yang lalu. Tentu ingatan gue juga teringat dengan cewek yang waktu itu diam aja sementara yang lainnya pada ketawa.
Nama cewek itu Yolanda. Bukan. Dia bukan Yolanda yang ada di lagunya kangen Band. Nama panjangnya Yolanda Indah Fitriani. Dia memang cewek yang tergolong pendiam di kelas. Meski begitu dia lumayan akrab dengan temen sebangkunya dan beberapa cewek lain (yang juga pendiam). Karena pendiam, jadi Yolanda bersama geng pendiamnya itu kalau lagi ngobrol lebih sering menggunakan bahasa isyarat ketimbang berbicara dengan mulut.
Gue sempat memperhatikan pembicaraan (dalam hal ini, yang dilakukan Yolanda dengan gengnya adalah pendiamcaraan) mereka. Ada beberapa yang gue tahu:

Kalo salah seorang temennya membuat lambang love dengan jari mereka berarti temennya itu lagi jatuh cinta.
Kalo salah seorang temennya saling mengaitkan kedua jari kelingkingnya di udara berarti temennya itu lagi dekat dengan seorang cowok.

Kalo salah seorang temennya mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi ke udara berarti temnnya itu lagi bau ketek.

Beberapa kali gue sempat nyuri-nyuri pandang ke Yolanda. Karena memang, wajah dia enak untuk di pandang. Wajahnya manis, dengan mata bulat berwarna cokelat, juga bulu mata yang lentik. Kulit putih bersih, tanpa ada bintik-bintik merah (baca: jerawat). Bibir yang tipis dan kalau tersenyum bisa mengacaukan dunia persilatan.
Gue menyadari sesuatu, gue mulai naskir sama dia.
Yolanda tidak tahu kalau gue sering mencuri pandang ke dia. Yang dia tahu dari gue cuman satu: penampakan gue yang kayak tuyul negro yang selalu mendapat nilai empat saat latihan matematika.
Saat gue lagi berdiri di depan pintu kelas, tiba-tiba dari belakang ada seseorang memukul bahu gue pelan. Gue berbalik dan mendapati Suci berdiri dengan senyum jail ke gue.
“Kenapa?” tanya gue dengan muka yang dibegoin.
“Lo gak usah sok-sok bikin muka lo bego gitu deh. Muka lo, kan, dari sananya me-mang udah bego juga.”
“Sialan lo!” kata gue sewot.
Hening.
“Ada apaan?!” tanya gue yang udah mulai kesal.
Suci kembali tersenyum jail, Gue mulai curiga kalau dia sebenarnya lagi nge-fly gara-gara kebanyakan ngisap sabu-sabu.
Dia lalu bilang, “Lo sering, kan, nyuri-nyuri pandang sama Yola?”
Jeng...jeng.
Selama ini Yolanda memang tidak tahu kalau gue sering mencuri pandang ke dia. Tapi, Suci, temen sebangkunya tahu akan hal ini. Tentu ini menjadi momok yang menakut-kan bagi gue. Sebab semua orang tahu, kalau cewek-cewek abg labil mulutnya kayak rem blong. Mudah keceplosan.
“G-gak, tuh. Gak-gak pernah,” jawab gue gelagapan.
Keringat dingin mulai menetes. Gue gampang gugup kalau lagi gugup (Lha? Kan memang begitu).
“Alah, lo gak usah bohong deh. Nyokap gue itu seorang sarjana Psikologi, jadi dia punya banyak buku tentang Psikologi. Dia punya buku yang judulnya ‘Cara Membaca Raut Wajah Seseorang’, nah gue sering baca tuh buku. Jadi, gue tahu deh tanda-tanda kalau orang lagi berbohong.”
“Gue gak bohong kok,” gue masih berusaha untuk berbohong.
“Bego. Kan, gue udah kasih tahu sama lo kalau gue ini tahu tanda-tanda orang yang berbohong. Dan tadi, lo masih bohong sama gue.”
Mampus gue!
Lalu, karena gue ketakutan dan tidak mungkin lagi berbohong (yang entar juga bakal ketahuan) gue kemudian menyogok Suci dengan mentraktirnya makan mie instan di kantin supaya dia gak ngomong yang macem-macem sama Yolanda. Jadilah hari itu gue gak bisa makan bakso sama si Anggi pas pulang sekolah nanti.
Tapi gue jamin, meskipun gue udah menyogok Suci dengan mie instan, dia pasti tetap bakalan ngomong yang macem-macem soal gue sama Yolanda.

“Lima menit lagi karangannya dikumpul ya, anak-anak.”
Suara lantang dari guru membuat gue tersadar. Panik, gue lihat ke sebelah. Si Anggi udah gak gambar lagi. Karangannya udah hampir selesai. Gue lihat ke yang lainnya, mereka juga udah selesai. Hanya ada beberapa orang lagi yang belum selesai. Sementara gue, GUE BELUM ADA NULIS SATU KATA PUN!
Dalam lima menit, dengan cepat dan asal, gue mulai menulis. Dengan tulisan yang udah kayak ceker ayam, ditambah menulis dengan terburu-buru, gue gak jamin guru bakalan bisa membaca karangan gue. Meskipun dia udah pakai kacamata tiga dimensi yang dicomot pas lagi nonton film di bioskop.
“Baiklah anak-anak, sekarang karangannya dikumpul,” kata guru sambil berdiri di depan kelas.
Kemudian seluruh siswa berjalan ke depan kelas sambil membawa hasil karangan masing-masing dan meletakkannya di atas meja guru. Gue yang paling terakhir maju ke depan kelas dan mengumpulkan karangan gue yang seadanya itu.

Minggu, 11 Oktober 2015

Petaka di Toilet Mall


Tadi malam di rumah gue mati lampu, kayak ada program mati lampu bergilir gitu dari PLN. Sebenarnya gue sebel banget sama mati lampu, karena semuanya menjadi gelap. Kalo mau makan juga gak enak, entar pas gue makan, eh, malah tangan gue sendiri yang kemakan karena gak kelihatan.

Well, hari ini gue mau cerita apa ya.... oh ya!

Suatu hari, setelah gue lulus dari SMK (iya, gue lulus. Walau dengan nilai yang pas-pasan). Gue dan temen gue yang juga sama-sama jomblo rencananya mau nonton di XXI. Buat yang gak tahu XXI, XXI itu bioskop (ya mana tahu di daerah kalian gak ada bisokop). Kayak di Padang tuh, ibu kota Provinsi, tapi gak ada bioskop (ato XXI). Yang ada cuman bioskop raya yang film-filmnya udah kadaluarsa. Misalnya sekarang film Paper Town, eh, di sana masih AADC. Versinya 3gp

Dengan menaiki motor bebek, gue dan temen gue yang bernama Angga, kami pun bergegas menuju mall ciputra seraya. Mall itu dari rumah gue jauhnya minta ampun. Dari ujung ke ujung. Alhasil kami pun melaju dengan kecepatan maksimal...maksimal maksannya. Karena motor si Angga ini jarang di service and ganti oli, jadi kami gak bisa ngebut di jalan. Takut-takut entar motornya si Angga meledak di tengah jalan.

Setelah menempuh waktu empat puluh lima menit, kami pun akhirnya masuk di kawasan mall ciputra. Mall yang pengunjungnya lebih banyak orang cina ini adalah satu-satunya mall yang ada XXI (baca: tweenty one). Motor pun diparkir. Setelah menitip helm (emang helm kami berdua butut, cuman buat jaga-jaga aja) di tempat penitipan, gue dan Angga bergegas masuk ke dalam mall.

Antara di dalam mall dan di luar jauh beda. Di luar, karena matahari bersinar dengan membabi buta, orang-orang berusaha biar gak kepanasan kayak ikan asin lagi di jemur. Sedangkan di dalam mall, adem banget. Beda jauh deh. Di dalam kayak surga and di luar kayak neraka. Berhubung di dalam mall dingin banget, gue jadi kebelet pipis. Yap, kalo udara dingin, kelenjar kencing dalam tubuh kita akan bekerja lebih dan menyebabkan kita pengin pipis terus. Itu makannya bagian selangkangan kaki pada celana gak dibikin terbuka, takut orang-orang kecing mulu.

Sempat terjadi perbincangan singkat antara gue dan Angga:

Gue: Ga, gue ke toilet dulu ya. Kebelet pipis nih gue...

Angga: Gue temenin yah?

Gue: *berpikir apa jangan-jangan si Angga ini homo*

Angga: boleh ya...?

Gue: *berpikir apa jangan-jangan si Angga ini mengalami orientasi seksual*

Setelah memberi sedikit tausiah ke Angga, dan dia akhirnya kilaf, gue menjadi tenang, gue lalu masuk ke dalam toilet. Seperti laki-laki sejati pada umumnya, tentu gue pipis sambil berdiri. Leeeegaaaaaa. Itu yang gue rasakan setelah kencing gue kelar. Masalah pun timbul saat gue hendak cebok. Jeng...jeng. Gue bingung kayak orang linglung. Setelah memperhatikan sekeliling, dan membaca petunjuk yang tertera di closet, gue pun mengerti.

Perintah: putar tuas ke arah atas

Gue pun memutar tuas alat modren untuk cebok itu ke atas, tapi karena gue muternya terlalu bersemangat (juga bawaan katrok, udik, dan mudik) air yang keluar dari alat itu muncrat dengan kencang. Panik, gue puter lagi tuas alat cebok itu ke bawah. Alhamdulillah berhasil.

Tapi, celana gue dekat bagian selangkangannya jadi basah gara-gara tuh alat. Gue terlihat seperti pemuda idiot berusia 17 tahun yang masih pipis di celana. Awalnya gue sempat malu buat ke luar dari toilet, tapi setelah berpikir mungkin si Angga udah khawatir, gue akhirnya keluar juga.

Karena gak mau malu pas di bioskop nanti, gue akhirnya mengajak Angga buat pulang lagi.

Gue: Ga, kita pulang lagi aja yok

Angga: lho...kenapa?

Gue memberi isyrat ke dia supaya melihat ke bagian selangkangan gue.

Angga: lo pipis di celana?

Gue: bego, lo jangan keras-keras dong. Bukan...gue bukan pipis di celana. Ceritanya panjang, pokoknya sekarang kita balik pulang aja

Angga: *tertunduk lemas*

Kita berdua akhirnya gak jadi nonton bioskop waktu itu. Berita buruknya gue dan Angga gak jadi nonton film yang katanya kocak abis "youtubers". Berita baiknya ternyata bioskop (XXI) nya lagi di renovasi, jadi bioskopnya tutup.

Abiyyu Fasha
(@_abiyyufasha)


Sabtu, 10 Oktober 2015

Pintu Masuk > tok....tok


Perkenalkan nama gue Abiyyu Fasha. Biasa dipanggil Abi, Biyu atau Kevin Julio (oleh orang-orang yang gak punya televisi). Dalam blog gue ini gue akan bercerita tentang hal-hal yang sebenarnya gak penting sih, cuman gue buat menjadi penting.

Btw, gue baru mulai mencoba masuk ke dalam dunia tulis-menulis seperti ini. Iya bisa dibilang gue ini anak baru. Orang-orang biasa menyebutnya anak bawang (bawang kan gak bisa beranak, tapi kenapa orang-orang menyebutnya seperti itu ya? bodoh amatlah). Niat awal sih cuman pengin cerita doang. Tapi, melihat banyak blogger di luar sana yang populer, tercetuslah sebuah pernyataan di kepala 'gue juga pengin eksis seperti mereka!'.

Mungkin itu aja 'Pintu Masuk' dari gue. Semoga cerita-cerita gue ke depan bisa membuat kalian menjadi tidak lebih ganteng, tidak lebih cantik, tidak lebih pintar, dan tidak lebih kaya.

Abiyyu Fasha
(@_abiyyufasha)  

The Legend of SMP

Setelah lulus dari SD, kita lanjut ke mana Mblo? yap betul SMP atau Sekolah Menengah Pertama. Tapi ada juga yang lanjut ke pesantren atau sekolah Internasional gitu. Alah, sok-sok ke sekolah Internasional tapi kalo pipis masih di toilet ya percuma.

Btw, gue dulu SMP di Pekanbaru. Yoi, kota super duper panas itu. Yoi, yang sekarang lagi penuh dengan asap itu. Yoi, gue emang ganteng (gak ada hubungannya sih, tapi gue bangga aja bilangnya). Gue pikir ortu gue masukin gue ke SMP favorit gitu. Yang ada di pusat kota and dekat sama mall. Ternyata eh ternyata gue malah nyasar ke SMP di dekat rumah dan jauuuuuuuuuuh dari mall.

Hari-hari pertama di SMP berjalan mulus kayak pantat bayi. Gue gak kesasar waktu pergi sekolah, gue gak di apa-apain sama senior, dan yang paling penting gue gak dilemparin batu sama anak-anak lainnya (takut mereka ngira gue ini hajar aswat). Gue senang di SMP ini karena banyak pohonnya, jadi adem aja gitu. Gue juga senang ternyata Bu Gurunya cantik-cantik (Pak gurunya juga gak kalah cantik). Dan, cewek-ceweknya buset dah... masih lugu-lugu dan fresh kayak ikan-ikan di laut. Sebagai calon playboy cap kaki tiga ada dari mereka yang gue taksir.

Tapi, tunggu dulu.

Gue gak bakalan bahas masa depan gue bersama cewek-cewek ini sekarang. Untuk sekarang gue bakal ngebahas lokasi SMP gue yang menurut gue aneh bin gak enak banget.

SMP gue ini lokasinya berdekatan dengan kebun sayur warga. Jadi, pas pagi-pagi, gue pasti nyium bau kurang sedap gitu. Bau-baunya kayak pupuk kandang ato taik sapi gitu. Setelah diselidki, ternyata emang bau pupuk kandang dari kebun belakang sekolah. Mblo, baunya itu lho, bikin pusing. Bikin hidung gue jadi gak enak. Baunya mengalahkan bau ketek gue sendiri. Sumpah. Jadi, kalo pagi-pagi, di kelas gue cuman bisa bilang 'Ya Allah, jangan
ambil nyawa hamba sekarang' sambil elus-elus dada. Terus ya, karena baunya yang nyesek, gue jadinya kalo pagi-pagi gitu mulut gue suka mangap tutup mangap tutup mangap lagi.... kayak ikan mujair kehabisan napas.

Seiring waktu berjalan dan gue semakin ganteng (ngarep), bau menyengat dari pupuk kandang itu lama kelamaan udah biasa di hidung gue. Tapi suatu pagi, saat guru belum masuk ke kelas, si Anggi, temen sebangku gue malah masih nutup hidungnya pake jari. Karena bingung, gue tanya aja, "Eh Nggi, lo kenapa masih nutup hidung sih? Kita kan udah lima bulan di sini, dan gue udah gak ke cium lagi tuh bau pupuk kandangnya, udah biasa.

Anggi diam.

Lalu dia menjawab dengan mantap, "Gue masih ke cium bau ketek lo bego!"

Well, itu tadi cerita tentang SMP gue yang tetanggaan sama kebun warga dan setiap pagi gue harus rela paru-paru ngemis oksigen karena bau dari pupuk kandang top 1 tersebut. Gue mau ngucapin terima kasih untuk The Legend of SMP gue itu karena dia telah memberikan gue pengalaman yang akhirnya bisa gue ceritain ke kalian semua.

Selamat Malam Minggu,
Sampai jumpa lagi di cerita berikutnya.

Abiyyu Fasha
(@_abiyyufasha)     

Juragannya

Foto saya
Orangnya sih bukan jelek, cuman kurang ganteng aja. IQ-nya juga gak rendah-rendah amat, masih bisalah ngejawab 3 x 4 = pas foto. Sekarang aktif sebagai aktivis para jomblo dan hak asasi cowok cemen. Prestasi terbaik adalah juara 1 lomba makan kerupuk dengan sikap lilin.
Diberdayakan oleh Blogger.