Gue udah gak duduk semeja lagi bareng Yusuf.
Yusuf pindah ke
kelas sebelah gara-gara kelas sebelah kekurangan satu siswa lagi. Sementara
siswa di kelas gue berlebih. Sebenarnya bukan cuman Yusuf aja yang dipindahin
dari kelas gue ke kelas lain. Ada seorang siswa lain bernama Ardi yang juga
harus pindah.
Sekarang gue
duduk semeja dengan seorang cowok pendek, kurus, dan berambut tipis bernama
Anggi. Dia orang jawa. Nama lengkapnya Anggi Dwi. Memang, namanya seperti nama
perempuan. Tapi, gue jamin seratus persen kalo dia itu punya titit.
Saat jam
istirahat, gue dan Anggi hanya duduk di dalam kelas. Gue bukannya gak punya
uang jajan, Anggi juga. Tapi, kami lebih memilih buat jajan sepulang dari
sekolah nanti. Kesempatan ini gue pakai buat ngobrol sama dia.
Pertama-tama,
Anggi yang membuka suara terlebih dahulu. “Pri, lo tinggal di mana?”
Gue jawab, “Gue
tinggal di Perumnas Sidomulyo, jalan gelatik raya nomer 14.”
Alis Anggi
terangkat, dia lalu bilang, “Sama dong, kita.”
Gue kaget. Lebih
tepatnya shock. “Ha? Lo juga tinggal di rumah gue?”
“Bukan gitu
bego. Gue juga tinggal di Perumnas Sidomulyo, tapi di jalan Parkit. Agak jauh
dari rumah lo. Cuman masih bisa dibilang dekat juga sih,”
Gue hanya
manggut-manggut.
Setelah itu, gue
dan Anggi bersepakat untuk berangkat sekolah naik sepeda bareng keesokan
harinya.
***
Keesokan harinya gue jemput Anggi
di rumahnya pukul setengah tujuh pagi. Dengan sepeda Wim Cycle warna
biru-kuning gue, dan sepeda Wim Cycle warna biru-putih Anggi, kami pun
berangkat tepat lima belas menit sebelum pukul tujuh.
Waktu itu,
karena Anggi takut kita bakalan telat, akhirnya dia ngajak gue untuk lewat
jalan pintas aja. Gue pikir, jalan pintas yang dimaksud Anggi adalah gang-gang
sempit khas perumahan. Eh tahunya Anggi ngajak gue buat lewat di daerah tempat
pembuangan sampah akhir. Maka di sinilah kami berdua, dua orang anak mengayuh
sepeda dengan penuh semangat di antara tumpukan-tumpukan sampah yang baunya minta
ampun dahsyatnya. Kami berdua terlihat seperti pemulung kurang gizi yang lagi
menyamar jadi anak SMP.
Beruntungnya gue
dan Anggi sampai di sekolah tepat sebelum pagar di tutup. Lima menit sebelum
bel pelajaran pertama berbunyi. Setelah memakirkan sepeda, kami berdua lalu
berjalan menuju kelas. Beberapa saat kemudian, guru pu masuk. Dia berhenti
melangkah di depan meja gue dan Anggi, lalu hidungnya yang sedikit mancung itu
seolah-olah mendengus sesuatu.
Guru itu bilang,
“Kok, kelas kalian bau sampah ya?”
Gue dan Anggi
menatap guru itu sesaat. Lalu kami berdua saling pandang sambil ter-senyum
miris.
***
Saat itu sedang pelajaran Bahasa
Indonesia. Guru memberikan kami tugas mengarang pagi itu. Gue celingak-celinguk.
Melihat ke kanan-kiri. Seluruh temen gue udah pada mulai mengerjakan tugas
karangan yang di suruh. Tinggal gue yang belum ngerjain. Gue lalu me-noleh,
memandang si Anggi yang lagi… gambar.
Tiba-tiba mata
gue berhenti saat memandangi papan tulis. Dalam sepersekian detik, gue lalu
teringat dengan kejadian ketika gue diketawain sama satu kelas saat
memperkenal-kan diri, tiga bulan yang lalu. Tentu ingatan gue juga teringat
dengan cewek yang waktu itu diam aja sementara yang lainnya pada ketawa.
Nama cewek itu
Yolanda. Bukan. Dia bukan Yolanda yang ada di lagunya kangen Band. Nama
panjangnya Yolanda Indah Fitriani. Dia memang cewek yang tergolong pendiam di
kelas. Meski begitu dia lumayan akrab dengan temen sebangkunya dan beberapa
cewek lain (yang juga pendiam). Karena pendiam, jadi Yolanda bersama geng
pendiamnya itu kalau lagi ngobrol lebih sering menggunakan bahasa isyarat
ketimbang berbicara dengan mulut.
Gue sempat
memperhatikan pembicaraan (dalam hal ini, yang dilakukan Yolanda dengan gengnya
adalah pendiamcaraan) mereka. Ada beberapa yang gue tahu:
Kalo salah
seorang temennya membuat lambang love dengan jari mereka berarti temennya itu
lagi jatuh cinta.
Kalo salah
seorang temennya saling mengaitkan kedua jari kelingkingnya di udara berarti
temennya itu lagi dekat dengan seorang cowok.
Kalo salah
seorang temennya mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi ke udara berarti
temnnya itu lagi bau ketek.
Beberapa kali
gue sempat nyuri-nyuri pandang ke Yolanda. Karena memang, wajah dia enak untuk
di pandang. Wajahnya manis, dengan mata bulat berwarna cokelat, juga bulu mata
yang lentik. Kulit putih bersih, tanpa ada bintik-bintik merah (baca: jerawat).
Bibir yang tipis dan kalau tersenyum bisa mengacaukan dunia persilatan.
Gue menyadari
sesuatu, gue mulai naskir sama dia.
Yolanda tidak
tahu kalau gue sering mencuri pandang ke dia. Yang dia tahu dari gue cuman
satu: penampakan gue yang kayak tuyul negro yang selalu mendapat nilai empat
saat latihan matematika.
Saat gue lagi
berdiri di depan pintu kelas, tiba-tiba dari belakang ada seseorang memukul
bahu gue pelan. Gue berbalik dan mendapati Suci berdiri dengan senyum jail ke
gue.
“Kenapa?” tanya
gue dengan muka yang dibegoin.
“Lo gak usah
sok-sok bikin muka lo bego gitu deh. Muka lo, kan, dari sananya me-mang udah
bego juga.”
“Sialan lo!”
kata gue sewot.
Hening.
“Ada apaan?!”
tanya gue yang udah mulai kesal.
Suci kembali
tersenyum jail, Gue mulai curiga kalau dia sebenarnya lagi nge-fly gara-gara
kebanyakan ngisap sabu-sabu.
Dia lalu bilang,
“Lo sering, kan, nyuri-nyuri pandang sama Yola?”
Jeng...jeng.
Selama ini
Yolanda memang tidak tahu kalau gue sering mencuri pandang ke dia. Tapi, Suci,
temen sebangkunya tahu akan hal ini. Tentu ini menjadi momok yang menakut-kan
bagi gue. Sebab semua orang tahu, kalau cewek-cewek abg labil mulutnya kayak
rem blong. Mudah keceplosan.
“G-gak, tuh.
Gak-gak pernah,” jawab gue gelagapan.
Keringat dingin
mulai menetes. Gue gampang gugup kalau lagi gugup (Lha? Kan memang begitu).
“Alah, lo gak
usah bohong deh. Nyokap gue itu seorang sarjana Psikologi, jadi dia punya
banyak buku tentang Psikologi. Dia punya buku yang judulnya ‘Cara Membaca Raut
Wajah Seseorang’, nah gue sering baca tuh buku. Jadi, gue tahu deh tanda-tanda
kalau orang lagi berbohong.”
“Gue gak bohong
kok,” gue masih berusaha untuk berbohong.
“Bego. Kan, gue
udah kasih tahu sama lo kalau gue ini tahu tanda-tanda orang yang berbohong.
Dan tadi, lo masih bohong sama gue.”
Mampus gue!
Lalu, karena gue
ketakutan dan tidak mungkin lagi berbohong (yang entar juga bakal ketahuan) gue
kemudian menyogok Suci dengan mentraktirnya makan mie instan di kantin supaya
dia gak ngomong yang macem-macem sama Yolanda. Jadilah hari itu gue gak bisa
makan bakso sama si Anggi pas pulang sekolah nanti.
Tapi gue jamin,
meskipun gue udah menyogok Suci dengan mie instan, dia pasti tetap bakalan
ngomong yang macem-macem soal gue sama Yolanda.
“Lima menit lagi
karangannya dikumpul ya, anak-anak.”
Suara lantang
dari guru membuat gue tersadar. Panik, gue lihat ke sebelah. Si Anggi udah gak
gambar lagi. Karangannya udah hampir selesai. Gue lihat ke yang lainnya, mereka
juga udah selesai. Hanya ada beberapa orang lagi yang belum selesai. Sementara
gue, GUE BELUM ADA NULIS SATU KATA PUN!
Dalam lima
menit, dengan cepat dan asal, gue mulai menulis. Dengan tulisan yang udah kayak
ceker ayam, ditambah menulis dengan terburu-buru, gue gak jamin guru bakalan
bisa membaca karangan gue. Meskipun dia udah pakai kacamata tiga dimensi yang
dicomot pas lagi nonton film di bioskop.
“Baiklah
anak-anak, sekarang karangannya dikumpul,” kata guru sambil berdiri di depan
kelas.
Kemudian seluruh
siswa berjalan ke depan kelas sambil membawa hasil karangan masing-masing dan
meletakkannya di atas meja guru. Gue yang paling terakhir maju ke depan kelas
dan mengumpulkan karangan gue yang seadanya itu.